Mie-Instanisasi Dunia Akademik: Menguak Kelemahan Karya Tulis di PTKI

Oleh : Prof. Dr. H. Abd. A’la, M.Ag , Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Senyatanya rangkaian tulisan saya yang dipublikasikan di website UIN Sunan Ampel Surabaya sejak beberapa bulan lalu lalu kurang menarik (atau kurang bermanfaat?) untuk konsumsi masyarakat umum. Tulisan hanya seputar publikasi dan dunia tulis menulis. Namun saya terpanggil menulis di kisaran itu karena ada persoalan (bahkan akut) di sana. Kualitas akademik karya-karya kajian ilmiah, terutama di tingkat studi lanjut, di (beberapa?) Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam masih cukup memprihatinkan.

Sejauh yang saya lihat, salah satu persoalan yang cukup mengganggu nilai akademis suatu karya ilmiah, khususnya pada tesis dan disertasi terletak pada penguasaan mahasiswa yang (agak) lemah di metode penelitian. Tidak sedikit mereka yang lebih mengedepankan aspek-aspek teoritis metodologis dengan mengutip dari sana sini sampai sekian halaman. Namun pada saat yang sama, mereka tidak atau kurang menjelaskan bagaimana metode ini akan digunakan dalam penelitian yang akan dilakukan.

Kelemahan lain sering muncul pada latar belakang masalah. Beberapa kali saya membaca atau menguji hasil kajian mahasiswa di pendidikan tinggi tingkat lanjut, latar belakang yang diangkat sangat normatif; bukan aspek-aspek kehidupan nyata atau ajaran yang ada dalam kehidupan yang menarik yang melatari persoalan akademik yang akan dibahas. Alih2, deskripsi yang justru dipanjanglebarkan adalah sekadar semacam ceramah atau khutbah. Hal ini tentu berdampak pada kelemahan pada rumusan masalah, tujuan dan lain sebagainya.

Persoalan lain yang perlu kita cermati adalah hal-hal yang menyangkut kegunaan penelitian. Tidak sedikit mahasiswa di tingkat graduate studies yang mengemukakan kegunaan penelitian mereka sekadar formalistik dan sangat general. Misalnya saja, mereka menjelaskan kegunaannya sekadar untuk mengembangkan hasil penelitian terdahulu, atau sekadar menyebutkan sebagai sumbangan bagi ilmu di bidang yang mereka kaji. Mereka sering melupakan untuk menguraikan secara spesifik aspek yang akan dikembangkan atau bentuk sumbangan konkret pada dunia keilmuan.

Kelemahan lain yang sering ditemui ada pada ketidakseimbangan antara data dan analisis. Ada karya yang datanya sangat banyak, tapi kering analisis. Sedangkan pada hasil penelitian yang lain, datanya sangat lemah, tapi analisisnya berbusa-busa demikian panjang lebar dan tidak berangkat dari data yang ada.

Lebih parah lagi, ada beberapa disertasi dengan referensi atau bibliografi benar-benar seadanya. Saya katakan demikian, karena selain sumber rujukannya berjumlah sekadar sekitar tiga puluhan, kualitasnya juga di bawah standar. Dikatakan dibawah standar karena penulis referensi itu memang tidak menekuni atau kurang berkompeten di bidang yang ditulis, atau rujukan itu hanya bersifat pengantar, atau bahkan ada rujukan yang diambil dari blog yang ditulis oleh orang yang secara akademik sulit dipertanggung jawabkan.

 

Mie-instanisasi Pendidikan

Rendahnya kualitas hasil penelitian tingkat studi lanjut itu tentu tidak bisa dibiarkan berlanjut terus. Pengabaian akan berdampak jauh bukan hanya terhadap kemandegan keilmuan Islam semata. Jika hal itu terus berkembang dan menjadi gejala akut dan epidemik di banyak program studi lanjut keagamaan Islam, kondisi ini bisa-bisa menjadikan Islam kehilangan kontekstualitasnya. Penerjemahan transformatif Islam ke dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak akan terjadi lagi. Dalam kondisi semacam itu, umat Islam akan kesulitan untuk menjadikan Islam sebagai sumber nilai dan ajaran yang dapat mengarahkan dan mencerahkan mereka dalam menyikapi tantangan kehidupan dan menyelesaikan segala persoalan.

Realitas ini meniscayakan para pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di berbagai tingkatannya, khususnya di tingkat studi lanjut, para intelektual Muslim (terutama di Indonesia), dan seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama melihat akar persoalan yang jika diabaikan bisa berpeluang besar untuk menjadi musibah besar dunia pendidikan tinggi Islam. Pada saat yang sama, mereka juga dituntut untuk menemukan dan mengembangkan strategi yang dapat memaksimalkan peningkatan kualitas akademik.

Salah satu persoalan yang sangat layak untuk dicermati adalah menguatnya pragmatisme di dunia pendidikan, khususnya di pendidikan tinggi. Di satu pihak, misalnya, ada gejala di beberapa mahasiswa yang mereka kuliah sekadar ingin lulus dan sekadar ingin mendapatkan ijazah dan sejenisnya. Pada pihak lain, visi pendirian beberapa lembaga pendidikan tinggi juga tidak jelas. Ada pengelola yang tampaknya mendirikan perguruan tinggi –sampai batas tertentu –lebih berkaitan dengan sekadar meraih kepentingan yang sangat sempit. Ini yang saya sebut gejala meinstanisasi dunia akademik.

Entah ada hubungan dengan gejala tersebut atau tidak, munculnya beberapa karya tesis atau disertasi yang “seadanya” itu biasanya berasal dari hasil penelitian yang terburu-buru atau penulisan yang tergesa-gesa. Jika penelitian lapangan, di lapangan sang peneliti relatif tidak lama. Jika penelitian kepustakaan, sang peneliti mengumpulkan sumber-sumber yang kurang memadai. Bahakan ada beberapa dari mereka yang menfeta-kompli pembimbing adan penguji. Pada sisi memang dugaan kuat adanya korelasi tersebut memang tidak dapat diabaikan sama sekali.

Terlepas apa penyebabnya, buruknya kualitas hasil penelitian di tingkat pendidikan tinggi harus dieliminasi. Tidak ada kata tawar menawar atau alternatif lain selain dimulai sekarang juga; atau kita, umat Islam akan terus menjadi penonton dan lama-lama akan terdepak dari panggung kehidupan dan bumi Indonesia©.

Leave a Reply