Oleh: Masdar Hilmy, PhD., Wakil Direktur Pascasarjana UINSA Surabaya
Bahwa penegakan hukum merupakan salah satu pilar penting bagi kualitas demokrasi merupakan aksioma normatif yang tidak terbantahkan. Keduanya ibarat dua sisi dari satu koin uang yang sama, tak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Penegakan hukum merupakan roh demokrasi. Begitu pula sebaliknya, demokrasi menjadi tubuh bagi penegakan hukum. Namun, profil demokrasi dan penegakan hukum seperti apa yang dibutuhkan, belum tentu menjadi pengetahuan dan kesadaran bersama.
Dalam konteks ini, Guillermo O’Donnel (2004: 32) menegaskan, tidak sembarang penegakan hukum dapat membuat demokrasi berkualitas. Penegakan hukum yang dibutuhkan oleh demokrasi yang sehat adalah penegakan hukum yang imparsial, impersonal, dan tidak tendensius. Penegakan hukum yang demikian pada gilirannya akan menjamin terpeliharanya hak-hak politik warga, kebebasan sipil, dan akuntabilitas publik yang dapat mengafirmasi kesederajatan politik seluruh warga negara serta mencegah terjadinya instrumentalisasi penegakan hukum.
Banalitas Hukum
Bagaimana gambar penegakan hukum di negeri ini? Inilah inti persoalan yang tengah kita hadapi. Panggung penegakan hukum kita belum menggambarkan idealitas yang diinginkan bersama sekaligus belum berkontribusi bagi pendewasaan demokrasi. Penegakan hukum kita masih tendensius, personal (menyasar individu tertentu), dan parsial (mengabaikan rasa keadilan publik). Tersua sekurangnya lima bentangan fakta berikut ini.
Fakta pertama adalah penegakan hukum yang tajam ke bawah, tetapi rumpul ke atas. Pengadilan Asyani di Situbondo dan pengadilan terhadap orang-orang lemah lain merefleksikan dengan jelas akan hal ini. Di luar itu, ada banyak kasus besar yang merugikan miliaran-bahkan triliunan-uang negara, tetapi nasibnya tidak jelas. Para penjahat “kerah putih” banyak yang tak tersentuh hukum, bebas melenggang, dan berleha-leha di luar negeri karena mampu “membeli” hukum.
Fakta kedua adalah penegakan hukum terhadap para pegiat anti korupsi atas tuduhan petty crimes (kejahatan remeh-temeh) yang terkesan dibuat-buat. Publik tidak bisa menutup mata bahwa hukum tengah diinstrumentalisasi (diperalat) oleh segelintir orang yang terusik kenyamanannya. Hal itu tentu saja menguntungkan para koruptor kakap yang terlindungi kepentingannya. Para pegiat anti korupsi yang semestinya didukung oleh para penegak hukum malah disisir terlebih dahulu. Fenomena penegakan hukum semacam ini sungguh memprihatinkan dan melukai rasa keadilan publik.
Fakta ketiga adalah drama terkabulnya permohonan praperadilan Budi Gunawan (BG) yang menganulir status tersangka yang ditetapkan oleh KPK. Sidang praperadilan semestinya tidak berwenang untuk membatalkan status tersangka, tetapi menguji proses penangkapan dan perlakuan aparat terhadap tersangka. Kasus “salah putus” oleh hakim Sarpin harus menjadi pelajaran penting bagi penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi karena hal itu akan menjadi preseden buruk dalam pemberantasan korupsi sekaligus menstimulasi tindakan serupa oleh para tersangka lain. Jika hal tersebut terjadi, “Kiamatlah Indonesia,” ujar Syafii Maarif.
Keempat, terjadi konflik kewenangan (conflict of authority) dalam penanganan kasus korupsi antara KPK dan Polri. Konflik kewenangan akan mengakibatkan kekacauan, kebingungan, dan ketidakpercayaan publik kepada salah satu di antara keduanya atau bahkan kedua-duanya. Oleh karena itu, perlu pendefinisian yang jelas dan tegas tentang batas-batas kewenangan di antara keduanya, siapa menangani apa? Adalah tidak realistis jika negara membebani Polri kewenangan untuk menangani segala jenis kasus kejahatan. Raison d’etre pembentukan KPK (sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002) adalah karena korupsi diklasifikasikan sebagai extraordinary crime yang perlu ditangani oleh sebuah lembaga khusus.
Kelima, wacana pemberian remisi bagi terpidana kasus korupsi. Sekalipun baru sebatas wacana, gagasan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dikhawatirkan menjadi titik balik yang dapat menggoyahkan komitmen dan integritas pemberantasan korupsi. Pemberian remisi justru akan mengembalikan korupsi sebagai kejahatan biasa, bukan luar biasa. Karena itu, kasus korupsi harus dikecualikan dari kasus-kasus kejahatan lain, terlebih kejahatan “ecek-ecek.” Pemberian remisi adalah langkah mundur, mendegradasi dan mendevaluasi atas apa yang telah dirintis oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri.
Komitmen dan Integritas
Mengawal demokrasi dan penegakan hukum meniscayakan komitmen dan integritas penuh para pemimpin negeri ini, terutama Presiden dan jajarannya, untuk melakukan langkah-langkah afirmasi dalam menegakkan keadilan substantif (imparsial, impersonal, dan non-tendensius). Seperti dijanjikan pada saat kampanye, Joko Widodo-Jusuf Kalla berkomitmen “menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya” (Nawacita poin 4). Jika Jokowi membiarkan bentangan fakta di atas, itu sama artinya dia telah mengingkari komitmennya sendiri. Sementara itu, integritas meniscayakan kekukuhan niat dan kebulatan tekad untuk tetap mengawal demokrasi dengan melakukan pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya dan penegakan hukum yang adil dan bermartabat. Kondisi apa pun semestinya tidak akan menggoyahkan tekad Jokowi memberantas korupsi. Kualitas demokrasi dan penegakan hukum berada di tangan Presiden, apakah Presiden membiarkan banalitas hukum terjadi di republik ini ataukah dia mengambil langkah-langkah afirmasi untuk menyelamatkan marwah penegakan hukum dan demokrasi? Perseteruan KPK-Polri beberapa waktu lalu sedikit banyak berpengaruh terhadap kinerja lembaga anti rasuah ini sekaligus dapat memudarkan aura anti korupsi di negeri ini. Pernyataan “lempar handuk” dalam penanganan kasus BG mengirimkan sinyalemen tereduksinya otoritas KPK. Yang lebih ironis, energi KPK mengalami anti klimaks dengan pelimpahan kasus BG ke Kejaksaan Agung. Jika tidak ada langkah afirmasi dari Presiden, hampir pasti penegakan hukum hanya akan menyisir para individu atau aktivis anti korupsi dan kasus-kasus remeh-temeh yang tidak menjadi perhatian masyarakat luas. Harus diakui, pendulum penegakan hukum setelah perseteruan KPK-Polri tengah bergerak ke arah penggerusan aura anti korupsi dan penggelembungan rasa percaya diri para koruptor. Tidak pernah terjadi pada masa sebelum ini penurunan aura anti korupsi yang begitu drastis. Padahal, penegakan hukum yang minimalis, personal, parsial, dan tendensius dapat mereduksi komitmen dan integritas pemberantasan korupsi. Jika ini yang terjadi, sungguh demokrasi kita mengalami involusi, mundur ke belakang, dan tidak lebih baik daripada pemerintahan periode sebelum ini.
Artikel ini sudah dimuat rubrik Opini di Harian Kompas 9 April 2015